Pernah dikuasai Belanda selama 350 tahun, wajar jika Indonesia memiliki banyak warisan zaman kolonial. Salah satunya dalam pendidikan dokter Indonesia.
Memperingati Hari Dokter Nasional pada 24 Oktober, berikut sejarah singkat asal usul pendidikannya di Indonesia yang disarikan dari KOMPASPEDIA.
Bermula dari Wabah Penyakit Menular
Bahkan, sepertiga dari penduduk Eropa yang menetap di Hindia Belanda harus meregang nyawa lantaran terkena wabah penyakit menular. Sebut saja, pesan, disentri, malaria, tifus, kolera, dan cacar.
Wabah cacar tergolong penyakit yang mematikan saat itu. Ketika vaksin cacar ditemukan, cakupan vaksinasi pun terbatas pada orang Belanda dan pribumi yang sehari-hari berinteraksi dengan mereka. Sementara, cacar menular dengan cepat dan terus memakan korban jiwa.
Saat itu pemerintah Hindia Belanda melihat ada kesenjangan sosial antara orang pribumi dan dokter-dokter Eropa. Tak sedikit pula orang pribumi yang lebih memilih pengobatan tradisional.
Pemerintah pun berinisiatif mengkaryakan orang pribumi sebagai vaksinator. Jadi, warga pribumi akan mau divaksin karena vaksinatornya berasal dari kalangan sendiri.
Tahun 1847, di tengah mengganasnya wabah cacar, Willem Bosch selalu Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda menggagas pendidikan dokter untuk pribumi Jawa. Nantinya mereka tak hanya berperan sebagai vaksinator cacar saja, tetapi juga tenaga medis untuk mengobati penyakit lain.
Untuk jangka pendek, pelatihan pemuda Jawa sebagai vaksinator dan mantri cacar pun dilakukan. Pada 1851 Onderwijs van Inlandsche élèves voor de geneeskunde en vaccine berdiri di Batavia, yang kemudian berganti nama menjadi Dokter Djawa School selang dua tahun kemudian.
Berubah Menjadi STOVIA
Memasuki tahun 1900-an, nama sekolah ini berganti menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau STOVIA. Terdapat perubahan terkait persyaratan masuk bagi siswa baru berikut masa studi.
Pertama, calon siswa STOVIA harus lulusan ELS (Europeesche Lagere School, sekolah Belanda) dan akan menempuh masa studi selama 10 tahun sampai menjadi ahli atau tenaga kesehatan. Kedua, lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) akan melalui masa studi 9 tahun. Jadi, STOVIA terbuka bagi calon siswa dari Tionghoa, Eropa, maupun Arab.
Menginjak tahun 1914, sekolah Hindia Belanda ini berikutnya berdiri di Surabaya dengan nama Netherlandsch Indische Artsen School (NIAS). Perubahan besar-besaran terjadi pada 1927 ketika Geneeskundige Hoge School (GHS) berdiri sehingga STOVIA berhenti beroperasi.
GHS menjadi perguruan tinggi dengan kualitas lebih baik daripada STOVIA. Lulusan GHS pun menempati posisi setara dengan sekolah sejenis yang berafiliasi dengan universitas terkemuka di Eropa.
Adapun kurikulum GHS mengadaptasi pendidikan di Belanda. Mahasiswa GHS menempuh masa studi 7 tahun dengan satu tahun pengajaran propedeuse, dua tahun menerima pengajaran kandidat, dau tahun mengikuti pengajaran doktoral, dan dua tahun berpraktik. Lulusan GHS menyandang gelar artsen dan boleh praktik secara mandiri.
Cikal Bakal Dua Universitas Ternama
Kedatangan Jepang menjajah Hindia memaksa aktivitas GHS dan NIAS terhenti. Pendidikan kedokteran sempat vakum beberapa waktu hingga lahirlah Djakarta Ika Daigaku pada 1943. Perguruan tinggi ini merupakan gabungan dari eks mahasiswa GHS dan NIAS.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Djakarta Ika Daigaku direbut dari tangan Jepang dan berubah nama menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran. Namun, pada masa Revolusi Kemerdekaan, aktivitas pendidikan harus diungsikan ke Klaten seiring usaha pasukan Belanda yang ingin kembali menduduki Indonesia.
Bukan cuma di Klaten, pendidikan berlanjut secara terpisah di beberapa kota. Mulai dari Jakarta, Surakarta, hingga Malang. Karena Perguruan Tinggi Kedokteran pindah ke Klaten, bekas gedung di Jakarta pun dikuasai NICA dan mereka mendirikan Universitas Darurat Belanda.
Menjelang tutup tahun 1947, Universitas Darurat Belanda berubah menjadi Universitas Indonesia. Lalu, eks gedung NIAS di Surabaya juga menjadi Fakultas Kedokteran. Sementara, Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten terus berkembang dan tumbuh sebagai cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Hingga akhirnya, Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta bergabung dengan Universitas Indonesia pada tahun 1950. Begitu pula dengan Fakultas Kedokteran di Surabaya yang resmi menyandang nama Universitas Airlangga pada 1954.
Hari Dokter Nasional 2022
Siapa sangka lahirnya pendidikan tersebut di Indonesia berawal dari wabah penyakit menular saat itu? Berkat kegigihan para ahli ternama itulah kini Indonesia bisa memiliki tenaga medis hebat yang siap mendedikasikan diri untuk melayani masyarakat.
Inilah tema besar Hari Dokter Nasional 2022, seperti dirilis oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Peringatan HUT IDI yang jatuh setiap 24 Oktober ini mengusung tema ‘Berbakti untuk Negeri, Mengabdi untuk Rakyat’ dan ‘Satu IDI Terus Maju’.
Momen perayaan HUT ke-72 IDI menjadi pengingat bagi para ahli kesehatan untuk terus berbakti kepada negeri melalui karya nyata pembangunan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, IDI juga siap berkolaborasi dan bersinergi dalam mengabdi untuk rakyat melalui langkah strategis yang dibarengi kearifan lokal.
Semoga momen ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk lebih peduli dengan para tenaga atau ahli kesehatan yang berperan sebagai ujung tombak kesehatan masyarakat. Dan juga jangan lupa untuk membantu para pasien-pasien tersebut ya, mereka yang mengalami kesulitan untuk sembuh dapat kamu bantu melalui galang dana di Ayobantu.com, kesehatan mereka tentu jadi syukur tak terhingga untuk dokter yang menangani. Selamat memperingati Hari Dokter Nasional 2022!
Baca Juga: Kembalikan Senyum Ariyana Remaja Penderita Gangguan Ginjal
Komentar Terbaru